Bandar Lampung — Pusat News — Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Lampung menyelenggarakan Diskusi Publik bertajuk “Lampung sebagai Acuan untuk Mempertanyakan Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kerusuhan Hari Ini”, Jum’at(26/9/2025) di Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Lampung. Kegiatan yang dimulai pukul 13.00 WIB tersebut dibuka secara resmi oleh perwakilan Pemerintah Provinsi Lampung, Yudi Alfadri, S.H., M.M., dan dihadiri 179 peserta dari kalangan mahasiswa, praktisi hukum, jurnalis, serta perwakilan pemerintah.
Ketua Pelaksana Muhammad Asri menegaskan bahwa forum ini merupakan “ekspresi intelektual sekaligus kegelisahan mahasiswa” atas eskalasi kekerasan yang muncul dalam berbagai aksi massa belakangan ini. Menurutnya, diskusi diperlukan agar kemarahan publik tidak berhenti pada luapan emosi, tetapi menjadi kritik yang terukur terhadap kebijakan negara.
Ketua Umum DPC PERMAHI Lampung, Tri Rahmadona, menyoroti Lampung sebagai cermin nasional untuk menguji akuntabilitas pemerintah dan elit politik. “Pertanyaan mendasar kami: siapa yang bertanggung jawab atas kerusuhan yang terjadi? Apakah kekacauan ini terencana, atau murni fenomena sosial yang tak terkendali? Publik juga berhak mengetahui mengapa ada figur politik yang justru menampilkan sikap provokatif di tengah penderitaan masyarakat,” ujarnya dengan nada kritis.
Dialog publik menghadirkan sejumlah narasumber lintas Kalangan . Praktisi hukum Subandria Nuka mengingatkan bahwa kebebasan berpendapat dijamin konstitusi. “Demonstrasi adalah hak warga negara. Jika terjadi kerusuhan, tanggung jawabnya kolektif. Menyalahkan massa semata berarti mengabaikan mandat Undang-Undang,” tegasnya.
Pakar hukum Dr. Fathul Muin menilai persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab negara. “Jika kita bicara Indonesia Emas 2045, indikator utamanya adalah penguasaan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Pemerintah memiliki sumber daya dan kewajiban untuk mencegah kekacauan. Ketika gagal, maka tanggung jawab pertama jelas berada di tangan pemerintah,” paparnya.
Jurnalis Umar Robbani menambahkan perspektif historis. Menurutnya, pasca-2019, dinamika demonstrasi relatif kondusif. “Kerusuhan besar terakhir terjadi pada 2019. Fakta bahwa kini muncul kembali mengundang pertanyaan: apakah ini kebetulan, atau ada rekayasa politik yang tidak terlihat?” katanya.
Aktivis Rico Kiat Sanjaya menyoroti aspek psikologis kekuasaan. Ia mencatat bagaimana pemerintah bereaksi cepat dengan klarifikasi serentak. “Demonstrasi kali ini jelas mengguncang. Yang juga mengkhawatirkan, praktik aparat menjadikan buku sebagai barang bukti dengan dalih pasal penghasutan. Jika literatur bisa dijadikan alat kriminalisasi, maka kebebasan berpikir terancam,” kritiknya.
Di akhir acara, Tri Rahmadona menyesalkan absennya perwakilan DPRD Provinsi Lampung yang diundang untuk berdialog. “Diskusi ini bukan sekadar mencari kambing hitam, tetapi menuntut transparansi. Tanpa keterlibatan legislatif, publik wajar meragukan komitmen mereka. Demonstrasi tidak akan mereda sebelum ada kejelasan dan pertanggungjawaban,” tegasnya.
Kegiatan ini menandai posisi mahasiswa hukum Lampung sebagai penggerak wacana kritis: menuntut negara, aparat, dan elit politik untuk menghentikan kekerasan struktural sekaligus memastikan hak konstitusional warga tetap dihormati. Tutupnya Tri Rahmadona. (**)